Rabu, Maret 20, 2013

Biar Rote Tetap Senyum

Jangan membaca kumpulan frase di atas dengan perasaan sedang marah, lelah, letih, lesu, dan lemah. Karena kondisi fisik dan emosi bisa mempengaruhi cara pandang kita terhadap sesuatu. Jika sedang labil, orang menepuk pundakpun bisa kita sangka sedang memukul.

Empat kata di atas kami (PM Rote) dapatkan dari seorang perwira polisi di jajaran Polda NTT, beliau bertugas di bagian pengamanan jalan raya. Namanya Kompol. Bambang, kami bertemu medio Oktober 2012 saat melakukan kunjungan stakeholder. Ketika itu juga dirangkaiakan untuk mengantar Deriyanto Zakarias, murid SD Batulai yang terpilih sebagai duta keselamatan di jalan untuk provinsi NTT.

Ketika bertemu beliau kami seperti sedang mengikuti leadership forum yang biasa dilaksanakan di camp pelatihan pengajar muda. Bedanya, sesi dengan Pak Bambang lebih mudah di cerna. Kami lebih bisa membayangkan dan mengkomparasikan dengan apa yang telah kami lewati. Saat itu, beliau bercerita banyak tentang suka duka bertugas di jajaran kepolisian. Dari kalimantan hingga beberapa kabupaten di provinsi NTT, beberapa pengalaman dan petikan pelajaran dari perjalanan selama iya bertugas disampaikan dengan lugas. Kami semuanya tersenyum takjub dan sesekali menganggukkan kepala, sebagai pernyataan jika kami sangat setuju dengan apa yang beliau sampaikan. Beberapa pesan kami catat, namun ada satu pernyataan yang menurut saya sarat akan makna.

"BIAR ROTE TETAP SENYUM"

Empat kata di atas multiinterpretatif, maknanya akan sesuai dengan suasana hati sang pembaca. Entah si pembaca sedang bahagia, marah, senang, sedih, pesimis, skeptis, ataupun optimismenya sedang meletup. Kumpulan kata itu akan memancarkan spektrum maknanya sesuai yang diinginkan sang pembaca. Jika ragu silahkan coba sendiri, kondisikan suasana hati anda maka akan menemukan maknanya sesuai yang diharapkan........ Hehehhehe.....,

Keadaan tersebut menggambarkan jika apa yang kita lakukan untuk mendapatkan atau menghasilkan sesuatu di mulai dari cara kita memandang sesuatu itu sendiri.

Nah coba kita melebarkan jangkauan kalimat tersebut menjadi "biar INDONESIA tetap senyum", tentu akan berbeda spektrum maknanya. Tergantung rakyat yang mana yang memandangnya.....

Bagaimana ????

Baca Selengkapnya......

BIAR ROTE TETAP SENYUM



“AKU DATANG BUKAN DENGAN KEMANTAPAN, ATAUPUN KEPERCAYAAN DIRI. HANYA SEDIKIT TINTA DAN KEYAKINAN, UNTUK ROTE NDAO. BIAR TUHAN YANG MENOPANGKU” (KRISTIA)

“HAMPARAN LAUTAN YANG BEGITU LUAS, DI TEPI PANTAI KULIHAT SEMANGAT JUANG ANAK-ANAK NUN JAUH DI SELATAN NUSANTARA. INGIN KU UKIR SENYUMAN DI BIBIR MEREKA DEMI MERAIH MASA DEPAN YANG CERAH” (NELLY)

“AROMA SOPI, DEBURAN OMBAK SAMUDERA, DIIRINGI PETIKAN SASANDO. JIKA SANG PENCIPTA MENGHENDAKI, KAMI SIAP BEKERJA DENGAN KARYA BUKAN KATA” (DARUL)

“LONTAR BERAYUN MENGIRINGI PERJALANAN DI TENGAH SABANA YANG MENGHAMPAR” (SEKAR)

“SAAT SEPARUH LADANG TANAH DESA INI MENGUNING, SAATNYA BERBAGAI DALAM DAMAI” (AKBAR)

“TANAH YANG SUBUR NAN EKSOTIS BERSANDING PANTAI. KU HARAP ROTE NDAO MELEKAT DI HATI” (ANIES)

“BIARKAN DAGINGKU BUSUK, MAMPUS DI KOYAK CACING-CACING ROTE. ASALKAN JIWAKU HIDUP DI DADA ANAK-ANAK KAMI” (RADY)

“KARENA HIDUP CUMA SEKALI JADIKAN BERARTI” (LUCKY)

“AKU INGIN SENYUM MEREKA TETAP MENYALA, MIMPI MEREKA BERCAHAYA DAN TIDAK PADAM LAGI. CAHAYAKU UNTUK MALAIKAT KECIL DI ROTE NDAO” (ANGGUN)


Puisi ini karya Pengajar Muda Rote Ndao IV, yang dibuat masing-masing kemudian dirangkai menjadi satu, awalnya tak memiliki judul. namun setelah perjalanan sembilan bulan kuputuskan untuk memberi judul "biar Rote tetap senyum"

Baca Selengkapnya......

Minggu, Oktober 14, 2012

"Istilah" Nusantara

Negara Indonesia disebut juga dengan istilah nusantara.

Itulah kalimat pembuka pada buku Pendidikan Kewarganegaraan kelas III, kalimat tersebut ada pada Bab I Makna Sumpah Pemuda bagian A Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, lebih tepatnya di halaman 2. bagi saya dan juga para pembaca yang budiman, kalimat tersebut adalah hal lumrah dan mudah di mengerti tanpa perlu penjelasan yang lebih rinci lagi. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi anak-anak didik saya di SD Inpres Oenitas, setelah membaca kalimat tersebut mereka berekspresi aneh. Khususnya ketika mereka sampai pada kata istilah.

Waktu menunjukkan pukul 11.00 waktu itu, setelah bernyanyi lagu satu nusa satu bangsa karya om L. Manik kemudian dilanjutkan dengan cerita wawasan nusantara. Mereka kemudian aku bagikan buku PKN dan meminta mereka membaca halaman dua sampai tiga, dengan tujuan untuk memperluas lagi pemahaman mereka. Tetapi apa boleh buat, maksudku baik namun ternyata aku malah menciptakan kekeliruan di otak mereka. Awalnya mereka membaca dengan suara sangat pelan, namun beberapa saat kemudian kelas mulai ribut karena akumulasi suara yang setiap detik volumenya semakin meninggi di setiap anak.

Anehnya, mereka malah mengulang-ulang kalimat yang ada di awal paragraf saja dengan intonasi yang sagat tegas pada kata istilah. Setiap detik mereka semakin semangat (khususnya anak laki-laki) untuk mengulang-lang untuk membaca sambil cengengesan. Jadilah kelasku sangat ribut namun terdengar kompak membaca kalimat NEGARA INDONESIA DISEBUT JUGA DENGAN ISTILAH........ NUSANTARA. Tetapi aku melihat ada yang aneh dari ekspresi mereka yang tidak seragam, anak perempuan terlihat dengan ekspresi kesal, beberapa anak yang belum lancar membaca terlihat bertanya ke temannya (menggunakan bahasa daerah,) mengenai letak kata istilah dalam paragraf.

"Kelas Tiga B.......?????" sahutku untuk mengurai distorsi suara yang menurutku sudah melewati ambang batas normal, namun sayang hanya beberapa anak yang menjawab "Pasti tertib... !!!".

Dengan suara yang tegas akupun bertanya ke mereka,

"kenapa bosong (kalian) baribut membaca, coba di baca pelan saja seperti ini" , "Negara Indonesia disebut juga dengan istilah nusantara. Nusantara berasal dari kata "nusa" dan "antara"." ucapku dengan suara yang agak pelan.

Akhirnya beberapa anak mulai menurunkan volume suaranya, namun kondisi itu hanya bertahan 3 menit saja. Selanjutnya kelas kembali kacau dengan suara mereka yang bersahut-sahutan, mengulang-ulang kalimat NEGARA INDONESIA DISEBUT JUGA DENGAN ISTILAH. Belum lagi ada anak yang saling menegur temannya dengan menggunakan bahasa oenale (Bahasa daerah setempat), bahkan saling memukul. "ah.. Ada yang tidak beres sepertinya" ucapku dalam hati. Mereka kemudian aku minta untuk berhenti membaca dan mendengar ceritaku, namun lagi-lagi tidak efektif. Kemudian aku tanya beberapa anak, mengapa teman-temannya tertawa ketika membaca kalimat tersebut. Yang kutemukan malah mereka senyum-senyum malu sambil menutup mukanya, malah ada yang langsung tunduk ke bawah meja. Akupun mulai panik, apa yang terjadi dengan bocah-bocah ini tuhan???.

"Sudah, sekarang tutup buku dan siap-siap pulang...!!!" ucapku dengan suara yang agak keras, ternyata kata pulang berhasil mengalahkan kata istilah.

Merekapun mulai merapikan buku dan bersiap pulang, ya... Hari itu aku memulangkan siswaku lebih cepat 20 menit dari jadwal yang seharusnya. Memulangkan mereka sepertinya sangat penting untuk meredam kekacauan hari itu.
.........................

Sesampainya di rumah akupun menceritakan kejadian di sekolah kepada inam (mama) dan amam (bapak), mereka malah mentertawakanku.

"sudah bapak makan dulu, baru nanti be kasi tau" kata amam, namun lagi-lagi di akhiri dengan tawa.

Selesai makan, aku ambil buku cetak itu kemudian kuperlihatkan ke amam.

"bapak, kata istila itu omong kotor (bahasa jorok) kalo di sini, anak-anak pasti bacanya isitila bukan istilah, itu artinya ###^$@@@##** dalam bahasa Oenale" kata amam menjelaskan sambil tertawa. Aku hanya melongo dan bilang "oooo.... -___-", anak-anak memang masih polos dan punya imajinasi yang tak bisa di tebak.

Semoga saja pelajaran PKN hari ini berkesan bagi murid-muridku, karena menurut teori (sudah lupa dari mana) sebuah pengetahuan akan tersimpan rapi dalam memori jangka panjang jika iya di terima dengan perasaan yang senang, seru dan aneh.

Mudah-mudahan yang tersimpan di otak mereka bukan, NEGARA INDONESIA DISEBUT JUGA DENGAN ###^$@@@##**..... '--___--'


*Bahasa Indonesia, bahasa yang membuat Republik ini tetap bersatu. Mencoba mengajarkannya kepada anak-anak di ujung selatan negeri adalah salah satu tantangan. Selain kata istilah, disini aku juga menemukan banyak misinterpretasi dari arti kata yang sebenarnya. Semoga saja menjelang usianya yang ke 84 tahun sebagai bahasa persatuan, bahasa ini tetap terjaga sebagai salah satu simpul untuk memperkokoh kesatuan republik. Walaupun seiring waktu mengalami berbagai perubahan di tiap generasi hingga sekarang muncul serangan bahasa 4L4y sebagai varian baru bahasa Indonesia di era social media ini.

Baca Selengkapnya......

Sabtu, Oktober 06, 2012

Ibu Fatimah dan Ibu Nasralia

Dengan sedikit gugup seorang bocah kecil ditemani ibunya masuk ke halaman sekolah dasar, dengan cengkraman yang kuat ia memegang tangan ibunya dan tak berani melepaskannya. Itu ia lakukan karena takut melihat aktifitas anak-anak seragam putih merah yang sangat ramai dan tak satupun yang ia kenal. Dengan langkah yang berat dan lambat, serta sesekali meminta pada ibunya untuk segera pulang karena khawatir berada di lingkungan tersebut. Namun dengan hanya sekali senyum yang menyejukkan dari wajah ibunya ia langsung lemas dan menurut. Sesampainya di depan kelas I, ia sudah melihat banyak anak-anak yang lain dengan polah yang aneh-aneh.

Ada yang menangis guling-guling di tanah, ada yang tidak mau turun dari gendongan ibunya, hal inilah yang membuatnya semakin khawatir dan ingin segera pulang. Namun sesekali ada beberapa anak yang lewat berlari dengan riangnya seolah-olah tanpa beban dan merasa sangat nyaman berada di sekolah tersebut.
"Assalamu alaikum Ibu, ini anaknya?" suara seorang ibu yang agak tua dengan seragam coklat muda menyadarkan ia dari pengamatan terhadap lingkungan barunya.
"Iya ibu, ini anak saya dia baru mulai sekolah di sini" Jawab Ibunya.
"Ooo..., ayo nak masuk kelas ketemu sama teman-temannya" dengan wajah yang sangat ramah. Dengan langkah yang agak berat, Ia mencoba memasuki ruangan kelas I.

Di dalam sana ia melihat ada sekitar 40-an anak, ada yang sudah mulai ngobrol dengan teman sebangkunya, ada yang diam saja, bahkan ada juga yang masih duduk sama orang tuanya. Tanpa arahan dari siapapun ia kemudian berjalan ke barisan tengah deretan bangku, dan memilih duduk di samping seorang anak yang belakangan ia ketahui namanya Harpian...
1994, foto setelah tamat di Taman Kanak-Kanak Bhayangkari

 .....

Itulah sedikit cerita yang masih sempat aku ingat ketika hari pertamaku di SD Negeri 2 Terang-terang 18 tahun yang lalu (Juni 1994). Waktu itu di kelas I aku di ajar Ibu Siti Fatimah usianya waktu itu kira-kira 50 - 55 tahun, setiap hari, Ibu Guruku selalu mengajar dengan semangat.

Yang paling tidak bisa aku lupa adalah suaranya yang khas dan sangat lantang jika sedang berada di depan sambil menunjuk huruf atau angka. Sesekali ia juga membetulkan posisi kacamatanya dengan lensa bulat yang agak besar. Ketika penerimaan raport caturwulan ketiga (waktu itu masih sistem cawu dan seingatku belum ada istilah tematis untuk pembelajaran). Nilaiku lumayan bagus apalagi matematika, aku nyaris dapat angka sempurna, namun kekuranganku adalah belum bisa baca. Ibu Fatimah kemudian berbicara ke orang tuaku, kalau aku sengaja dinaikkan ke kelas II dengan catatan sebelum penerimaan rapor cawu I di kelas II aku sudah harus bisa baca. Jika tidak aku bisa diturunkan kembali ke kelas I, jadilah orang tuaku sedikit keras di rumah untuk menepati janjinya kepada Ibu Fatimah agar aku bisa secepatnya membaca.

Dua bulan di kelas dua akhirnya aku sudah bisa baca (terima kasih Ibu Fatimah atas kebijaksanaannya). Di kelas II kami di bagi menjadi 2 kelas, aku di kelas IIb dengan Ibu Yuliana sebagai wali kelas kami. Yang masih terekam di memoriku, aku sekelas dengan beberapa teman-teman yang dari jawa (mereka rata-rata 1-3 tahun di SD 2 Terang-terang, setelah itu pindah karena orang tua mereka pindah tugas) dan teman-temanku juga kebanyakan keturunan Tionghoa. Selain itu di kelas dua juga aku pernah minta ijin untuk pindah sekolah ke Bandung, karena Bapak-ku akan dapat tugas belajar di sana dan setahun kemudian berangkat ke Jerman. Waktu itu aku yang paling semangat untuk pindah, mungkin karena sering mendengar cerita teman-temanku yang dari jawa (mereka hidup nomaden, tergantung surat tugas yang di pegang orang tua mereka) sudah tinggal di berbagai tempat di Republik ini.

Namun sayang karena berbagai pertimbangan, orang tuaku tidak jadi menerima tawaran beasiswa itu. Akhirnya aku tetap bersekolah di sana dan melihat beberapa kali acara perpisahan teman-temanku yang akan pindah ke daerah lain. Setahun di kelas II aku akhirnya naik ke kelas III. Di kelas III yang jadi wali kelasku adalah Ibu Nasralia, seorang guru, motivator, berjilbab dan suara yang sangat nyaring. Motivasi beliau agar aku belajar dengan tekun untuk mengikuti kompetisi olimpiade matematika yang dilaksanakan University of New South Wales. Perjalanan tiga tahun awal di Sekolah Dasar sepertinya terekam dengan baik, metode membaca yang dijarkan Ibu Fatimah di kelas satu kadang aku pakai di sekolah. Ataupun sapaan hangat di pagi hari ketika di sekolah biasa juga aku terapkan.

Karena sudah minta ijin untuk pindah waktu kelas II, namun tidak jadi. Akhirnya sampai sekarang aku sangat senang rasanya jika berada di Bandung dan semangat untuk kuliah sampai ke jerman. Motivasi Ibu Nasralia di kelas III, menjadi penyemangat untuk terus berkarya dan berprestasi. Dan saat ini saya berada di posisi yang sama dengan Ibu Nasralia 18 tahun yang lalu, bedanya saya mengajar anak kelas III di pulau paling selatan negeri ini sebagai pengajar muda. Mengajar anak-anak dengan kompleksitas tantangan yang tinggi memang butuh kesabaran dan kerja keras. Karena tugas guru memang menyemai pengetahuan dan motivasi untuk sang murid agar ia berani bermimpi bahkan melampauinya.

*Terima kasih untuk guru-guruku dan untuk teman-teman di SD Negeri 2 Terang-terang (1994-2000),

Baca Selengkapnya......

Selasa, Agustus 28, 2012

(Cerita) Adolf Hitler (Sampai) di Bumi Ti’i Langga

20 juni 2012, aku menghadiri acara pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional di Sekolahku (SD Inpres Oenitas). Ditemani Citra (PM2) aku masih agak canggung dengan suasana di sekolah, apatah lagi saat itu orang tua siswa sedang berkumpul. Setelah menunggu sekitar tiga jam setengah, akhirnya acarapun berlangsung. Satu persatu pemangku kepentingan yang hadir di beri kesempatan untuk memberikan sambutan di mulai dari Kepala Sekolah, Ketua Komite, dan terakhir perwakilan dari Kepala Cabang Dinas PPO (Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga). Ketiga sambutan tersebut semuanya menyempatkan untuk memperkenalkan saya di depan orang tua siswa.

Namun, sambutan dari Bapak Jusuf Boboy (ketua komite) waktu itu sangat luar biasa. Beliau menyampaikan cerita tentang Adolf Hitler yang di cap sebagai penjahat namun tetap menjadi pahlawan bagi orang-orang di kampung halamannya, beliau menyampaikan ini karena ada sebuah daerah di penempatan saya yang sudah di cap jelek oleh warga di desa lain. Beliau benar-benar membakar ruangan kelas yang kecil tersebut dengan semangat yang luar biasa saat menyampaikan sambutannya, dengan nada yang tegas beliau mengatakan “jika anak Leonard Haning (Bupati Rote Ndao) sarjana, itu hal yang biasa... !!!! tapi kalo dong (semua) anak samua (semua) sarjana itu luar biasa.. !!!”

Sungguh pernyataan yang luar biasa dari seorang bapak yang tamatan SMA dan berusia sekitar 60 tahun, kalimat tersebut sontak membuat ekspresi optimis dari orang tua siswa semakin terpancarkan. Tidak hanya sampai di situ, beliau juga “menyumpah” para siswa untuk tetap melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, dan dilanjutkan dengan “janji” orang tua untuk terus berusaha menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi. Kemudian beliau bercerita tentang seorang anak yang di mana masa mudanya iya habiskan dengan kenakalan baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar, kenakalan tersebut bahkan sampai ke tingkat kriminal. Namun, iya selalu mendapatkan nasehat dan bimbingan dari bapak. Seiring waktu iya telah menamatkan SMA pada tahun 2002, setelah “menganggur” sampai 2004 pemuda tersebut kemudian ke Kupang. Di sana iya kemudian kuliah pada jurusan pendidikan (aku lupa jurusannya), tahun 2006 iya sempat mengambil cuti karena sang ayah meninggal dunia. Selama dua tahun dia lagi-lagi menjadi pengangguran dan sempat putus asa untuk melanjutkan kuliahnya yang telah terlantar.
Bapak usu (begitu iya menyebutnya) selalu memberi dorongan dan motivasi kepadanya, selama dua tahun setiap beliau bertemu dengan bapak pasti selalu diingatkan untuk tetap berusaha kuliah. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali kuliah dengan modal pas-pasan, kuliah sambil bekerja sampingan (kadang jadi tukang parkir, ataupun berbisnis kecil-kecilan di kampus) iya jalani untuk menaklukkan tantangan ekonomi. Medio 2010 akhirnya iya menyelesaikan kuliahnya, tak lama setelah wisuda iya di terima sebagai guru di sebuah SMA di pinggiran Kota Kupang (Kec. Amfoang) hingga saat ini iya masih mendedikasikan diri di sana.

Aku kembali teringat, karena sehari sebelumnya aku sempat bertemu dengan beliau di upacara kematian tetangganya, beliau sangat semangat menceritakan pengalaman hidupnya seperti yang tertulis di atas. Hingga iya melontarkan kalimat “dulu memang saya nakal, bahkan berurusan dengan polisi saya sering. Namun sekarang beta sudah mau berubah, beta baru tau kalau pendidikan itu ternyata penting pak. Makanya suatu saat beta mau kembali ke sini untuk mengajar, beta mau anak-anak dong samua di sini sekolah terus biar oenale (nama suku yang mendiami oenitas) bisa maju”. Sambutan bapak Jusuf Boboy kemudian iya tutup dengan kalimat “ingat dong samua bisa sekolah setinggi-tingginya, tapi jangan sampai dong lupa sekolah dan kampung ini yang sudah beri lu ilmu dasar”.

Baca Selengkapnya......