Selasa, Agustus 28, 2012

(Cerita) Adolf Hitler (Sampai) di Bumi Ti’i Langga

20 juni 2012, aku menghadiri acara pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional di Sekolahku (SD Inpres Oenitas). Ditemani Citra (PM2) aku masih agak canggung dengan suasana di sekolah, apatah lagi saat itu orang tua siswa sedang berkumpul. Setelah menunggu sekitar tiga jam setengah, akhirnya acarapun berlangsung. Satu persatu pemangku kepentingan yang hadir di beri kesempatan untuk memberikan sambutan di mulai dari Kepala Sekolah, Ketua Komite, dan terakhir perwakilan dari Kepala Cabang Dinas PPO (Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga). Ketiga sambutan tersebut semuanya menyempatkan untuk memperkenalkan saya di depan orang tua siswa.

Namun, sambutan dari Bapak Jusuf Boboy (ketua komite) waktu itu sangat luar biasa. Beliau menyampaikan cerita tentang Adolf Hitler yang di cap sebagai penjahat namun tetap menjadi pahlawan bagi orang-orang di kampung halamannya, beliau menyampaikan ini karena ada sebuah daerah di penempatan saya yang sudah di cap jelek oleh warga di desa lain. Beliau benar-benar membakar ruangan kelas yang kecil tersebut dengan semangat yang luar biasa saat menyampaikan sambutannya, dengan nada yang tegas beliau mengatakan “jika anak Leonard Haning (Bupati Rote Ndao) sarjana, itu hal yang biasa... !!!! tapi kalo dong (semua) anak samua (semua) sarjana itu luar biasa.. !!!”

Sungguh pernyataan yang luar biasa dari seorang bapak yang tamatan SMA dan berusia sekitar 60 tahun, kalimat tersebut sontak membuat ekspresi optimis dari orang tua siswa semakin terpancarkan. Tidak hanya sampai di situ, beliau juga “menyumpah” para siswa untuk tetap melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, dan dilanjutkan dengan “janji” orang tua untuk terus berusaha menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi. Kemudian beliau bercerita tentang seorang anak yang di mana masa mudanya iya habiskan dengan kenakalan baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar, kenakalan tersebut bahkan sampai ke tingkat kriminal. Namun, iya selalu mendapatkan nasehat dan bimbingan dari bapak. Seiring waktu iya telah menamatkan SMA pada tahun 2002, setelah “menganggur” sampai 2004 pemuda tersebut kemudian ke Kupang. Di sana iya kemudian kuliah pada jurusan pendidikan (aku lupa jurusannya), tahun 2006 iya sempat mengambil cuti karena sang ayah meninggal dunia. Selama dua tahun dia lagi-lagi menjadi pengangguran dan sempat putus asa untuk melanjutkan kuliahnya yang telah terlantar.
Bapak usu (begitu iya menyebutnya) selalu memberi dorongan dan motivasi kepadanya, selama dua tahun setiap beliau bertemu dengan bapak pasti selalu diingatkan untuk tetap berusaha kuliah. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali kuliah dengan modal pas-pasan, kuliah sambil bekerja sampingan (kadang jadi tukang parkir, ataupun berbisnis kecil-kecilan di kampus) iya jalani untuk menaklukkan tantangan ekonomi. Medio 2010 akhirnya iya menyelesaikan kuliahnya, tak lama setelah wisuda iya di terima sebagai guru di sebuah SMA di pinggiran Kota Kupang (Kec. Amfoang) hingga saat ini iya masih mendedikasikan diri di sana.

Aku kembali teringat, karena sehari sebelumnya aku sempat bertemu dengan beliau di upacara kematian tetangganya, beliau sangat semangat menceritakan pengalaman hidupnya seperti yang tertulis di atas. Hingga iya melontarkan kalimat “dulu memang saya nakal, bahkan berurusan dengan polisi saya sering. Namun sekarang beta sudah mau berubah, beta baru tau kalau pendidikan itu ternyata penting pak. Makanya suatu saat beta mau kembali ke sini untuk mengajar, beta mau anak-anak dong samua di sini sekolah terus biar oenale (nama suku yang mendiami oenitas) bisa maju”. Sambutan bapak Jusuf Boboy kemudian iya tutup dengan kalimat “ingat dong samua bisa sekolah setinggi-tingginya, tapi jangan sampai dong lupa sekolah dan kampung ini yang sudah beri lu ilmu dasar”.

Baca Selengkapnya......

Sabtu, Agustus 25, 2012

30 Hari, Akhirnya Aku Jatuh Cinta

"Bapak biasa saja dalam mengajar, bapak sepertinya belum akrab dengan anak-anak", (Haura, 2012)
"Mengajar dengan baik kasihan anak orang", (Asesor PPM, 2012)

Itulah dua kalimat yang selalu memotivasiku untuk memberikan yang terbaik saat mengajar di lokasi penugasan dari Yayasan Idonesia Mengajar. Kalimat tersebut kudapatkan ketika sedang melakukan Praktek Pengalaman Mengajar (PPM) di salah satu SD di Purwakarta sewaktu masih pelatihan Intensif Indonesia Mengajar beberapa bulan yang lalu. Kalimat pertama aku dapatkan dari seorang murid kelas dua, sedangkan yang satunya dari asesor kami saat itu.

Kini sudah sebulan lebih aku berinteraksi dengan wajah-wajah polos Desa Oenitas, setiap hari kulihat mereka dengan wajah ceria penuh harap untuk sesuatu yang baru. Enam belas mutiara yang masih muda, memiliki karakter yang berbeda, lirikan mata yang khas, senyum malu-malu yang terkadang mereka perlihatkan kepadaku, ataupun sapaan "Selamat pagi pak.. !!!" yang aku dapatkan jika bertemu mereka dijalan ketika ke sekolah ataupun pulang sekolah. Kebiasaan-kebiasaan tersebut hampir berulang setiap harinya, dan terkadang dibumbui tingkah mereka yang sangat ekspresif, hiperaktif, dan punya imajinasi yang sangat luas tentang sebuah pelajaran.

Mereka masih sulit berdamai dengan huruf p, d dan b yang sepertinya berputar-putar di kepala mereka hingga belum mampu membedakannya. Seharian aku biasanya tersenyum puas dengan apa yang mereka capai hari itu, kadangkala aku juga tak sadar mengeluarkan bulir-bulir bening di sudut mata karena melihat mereka kesulitan menyelami samudera ilmu yang begitu luas. Setelah 30 Hari, Akhirnya aku jatuh cinta. Mungkin terdengar seperti sebuah judul film.

Akhirnya aku yakin, jika aku benar-benar jatuh cinta pada wajah-wajah polos yang selalu memberiku energi ekstra ketika sedang lelah atau sedang suntuk. Ya... Energi yang mereka berikan melebihi minuman berenergi merek apapun... !!!!. Kini mereka selalu menginspirasiku untuk membuat media pembelajaran yang unik-unik, membuat administrasi wali kelas yang sangat banyak, ataupun belajar menjadi guru yang baik. Saat ini aku sudah mulai membantu mereka membangun mimpi-mimpi dan memberi semangat untuk meraih ataupun melampauinya. Menjadi guru ternyata sangat nikmat, ada kepuasan tersendiri jika kita mengajar dengan hati. Melihat mereka perlahan-lahan membaca dengan hati dan menulis dengan jiwa, Adalah sesuatu yang tak terhingga untuk di nilai dengan materi.

Baca Selengkapnya......

Jumat, Agustus 24, 2012

Hari Pertama di Kelas (Demokrasi Mutiara Muda)

Hari ini senin 23 Juli 2012, setelah libur awal ramdhan selama empat hari akhirnya aku memulai juga aktivitas pertamaku sebagai kelas III b di SD Inpres Oenitas, Kecamatan Rote barat. Beberapa hari sebelumnya, aku memang sudah ke sekolah namun waktu itu aku lebih banyak berinteraksi dengan kawan-kawan guru. Pernah dalam satu hari aku cuma mengobrol di kantor dengan kawan guru tentang aktifitas kurikuler dan ekstrakurikuler yang biasa dilaksanakan di sekolah. Ataupun sekedar melihat-lihat aktifitas anak-anak di sekolah, saat Ibu Citra (PM2) masih ada aku biasanya memperhatikan ketika ia sedang mengajar di dalam kelas. Aku yang tidak terbiasa dan kurang mampu berinteraksi dengan anak-anak, memang lebih banyak mengamati dan menerka-nerka apa yang mereka (siswa SD Inpres Oenitas) senangi.

Hari ini, aku tiba di sekolah pukul 07.30. Pikirku aku terlambat, ternyata pintu ruangan di sekolah belum juga terbuka karena pak kepala sekolah telat datang. Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya beliau datang dengan wajah yang ceria dengan potongan rambut baru. Ternyata pak Ay (begitu iya biasanya di sapa) hari ini berulang tahun, jadilah pagi ini ada perayaan kecil-kecilan di sekolah. Namun karena aku puasa, jadinya cuma mengucapkan selamat ulang tahun ke beliau kemudian aku bergeser ke ruangan kelas III b untuk memulai aktifitas tahun ajaran baru 2012/2013.

Sambil membawa kunci kelas, siswaku mulai antri di depan pintu dan mereka kelihatan tak sabar untuk memasuki ruang kelas baru mereka. Setelah terbuka merekapun mulai berebutan tempat duduk, ada yang duduk bertiga ada yang sendiri, jadilah ruangan seperti pasar yang sedang ramai transakasi. Aku hanya senyum dan menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam dalam hati, "ok, setahun ke depan aku akan bersama kalian, semoga kalian bisa jadi anak yang terbaik dan menjadi orang-orang sukses dalam hidup di masa yang akan datang".

Setelah menertibkan tempat duduk mereka, aku mulai mengeluarkan poster-poster bergambar pahlawan kemerdekaan negeri ini. Kemudian kumintai pendapat mereka, "poster-poster ini di tempel di mana anak-anak?" kembali suara mereka bersahut-sahutan ada yang bilang di belakang pak... !!!, di depan... !!!! Di sini saja pak..... !!! (sambil menunjuk dinding yang ada di sampingnya). "Ok kalau begitu kalian diam dulu semua, bapak bingung mau di tempel di mana jadinya" ucapku dengan nada yang agak tegas. Satu persatu dari mereka kemudian kumintai pendapat tentang alasan mereka, namun ternyata jawaban agar gambar tersebut bisa sering di lihat menjadi jawaban mayoritas. "kalau begitu kita bagi dua sebagian di tempel di depan dan sebagian lagi di belakang?, bagaimana?" tanyaku. "Iyyyaaaaaa paaakkkk.... !!!!" jawab mereka dengan kompak.

Akhirnya, mutiara-mutiara muda yang berjumlah 16 mulai aktif dan menempelkan gambar pahlawan dengan sebebas-bebasnya di kedua dinding ruangan yang telah ditentukan. Melihat mereka sibuk, aku mulai berpikir "apa lagi ya, yang harus aku lakukan?", ya hari ini aku ke sekolah tanpa persiapan untuk mengajar. Setelah memaksa saraf-saraf otak berpikir akhirnya ku temukan kegiatan selanjutnya, "bagaimana? Sudah beres ko sonde?" tanyaku dengan logat kupang yang kupikir masih aneh. Ternyata ada beberapa anak yang masih belum selesai menempelkan gambar, setelah ku beri tambahan waktu 10 menit kegiatan mereka selesai juga. "mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjuang untuk membebaskan Indonesia tercinta dari penjajahan Belanda dan Jepang, suatu saat kalian juga akan jadi pahlawan bagi negeri ini jika kalian rajin belajar" ucapku untuk memotivasi mereka (walaupun ku tahu mungkin sebagian besar dari mereka belum paham apa yang ku ucapkan tadi).

Kegiatan kemudian aku lanjutkan dengan pemiihan koordinator kelas, "baik sekarang bapak tanya, siapa yang mau jadi koordinator kelas IIIb?". Dengan waktu yang hampir bersamaan ada 6 anak yang mengangkat tangan, "wow.. Kelas ini ternyata memiliki banyak calon pemimpi(n)" ucapku dengan antusias. "baik kalau begitu Feri, Noldi, Adrianus, Maros, Refin, dan Beni silahkan maju ke depan", satu persatu kemudian mereka ku minta untuk meperkenalkan diri dan menjawab pertanyaan apa tugas dari seorang koordinator kelas. Jawaban mereka, perintah menyapu, membersihkan kelas, menyapu, mengatur teman, menolong teman,dan banyak lagi kata-kata ajaib yang mereka lontarkan.

Setelah sesi perkenalan diri dan mungkin bisa di bilang penyampaian visi mereka, maka aku mencoba membuka sesi musyawarah untuk mufakat memilih satu dari enam orang tersebut. Tetapi ternyata, di kelas ini belum mampu mufakat. "ok, kalau begitu kita memilih langsung koordinator kelas, jika bapak menyebutkan nama salah satu teman kalian silahkan angkat tangan jika kalian menginginkan dia menjadi koordinator, ingat satu orang hanya boleh mengangkat tangan sekali" ucapku sambil mengarahkan prosesi demokrasi di kelas ini. Setelah satu persatu dari enam calon ku sebutkan akhirnya Maros yang satu-satunya calon perempuan terpilih dengan jumlah suara 6, kemudian di susul feri dengan jumlah suara 4.

Akhirnya pesta demokrasi di kelas ini selesai juga, namun bedanya dengan yang terjadi di luar sana, anak-anak di sini pastinya belum memiliki pemahaman tentang kepentingan politik, golongan, ataupun kelompok masing-masing. Mereka siap menjadi pemimpin karena benar-benar ingin mengemban amanah, melakukan yang terbaik untuk kepentingan bersama. Setelah pemilihan, aku persilahkan mereka untuk istirahat selama 30 menit. Tiba-tiba, 15 menit kemudian Feri dan Christo masuk ke kelas dengan nafas yang terengah-engah. "Bapak, Noldi pukul Maros.... !!! Dong (mereka) ada di belakang perpustakaan" ucap christo dengan suara yang terbata-bata. "suruh dong ke sini" perintahku ke mereka, tak lama kemudian merekapun berdua sudah berada di kelas diikuti dengan teman-temannya yang lain. Pintu kelas kemudian ku tutup dan anak-anak yang lain kupersilahkan duduk kecuali mereka berdua. "Bosong (kalian) berdua buat hal (masalah) apa?" tanyaku, tiba-tiba anak yang lain nyeletuk "Noldi pukul Maros pak, karena kalah ketua kelas" (Noldi dikalahkan waktu pemilihan ketua kelas, red.).

Setelah ku investigasi, Noldi memang memukul maros karena iya kalah saat pemilihan tadi. Mereka berdua dan teman-temannya ku nasehati tentang pentingnya saling menghargai dan bersikap ksatria dalam menerima kekalahan. Setelah salaman, merekapun kembali bermain menikmati terik matahari halaman sekolah yang kering berdebu.

Sambil menatap mereka, akupun bertanya dalam hati, apakah anak-anak ini sudah sering melihat pesta demokrasi yang hampir terjadi setiap hari di negeri ini?. Dimana sebagian besar berakhir dengan kekacauan dan menyibukkan lembaga-lembaga hukum. Mungkinkah mereka menirunya?, dengan menggunakan cara-cara kasar jika kalah dalam sebuah pemilihan? Ataukah memang watak bangsa ini yang baru muncul setelah di suguhi sebuah era yang di sebut reformasi ?. Ataukah kalian masih anak-anak yang memiliki kemerdekaan untuk berbuat apa saja?.

Tapi dari mana, mereka belajar untuk berbuat seperti itu? Mereka memang masih muda (kecil), mungkin saja salah satu dari mereka akan ada yang memilih karir di jalur politik kelak, semoga saja sejak kecil dipertontonkan demokrasi yang sehat di negeri ini. Satu tahun aku akan berusaha untuk memoles mutiara-mutiara mudaku, semoga saja bapak gurumu ini tidak membuat bias dalam memahami sesuatu, hingga kelak menjadi mutiara yang bersinar dari pagar selatan Bumi Pertiwi.

Baca Selengkapnya......