Minggu, Oktober 14, 2012

"Istilah" Nusantara

Negara Indonesia disebut juga dengan istilah nusantara.

Itulah kalimat pembuka pada buku Pendidikan Kewarganegaraan kelas III, kalimat tersebut ada pada Bab I Makna Sumpah Pemuda bagian A Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, lebih tepatnya di halaman 2. bagi saya dan juga para pembaca yang budiman, kalimat tersebut adalah hal lumrah dan mudah di mengerti tanpa perlu penjelasan yang lebih rinci lagi. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi anak-anak didik saya di SD Inpres Oenitas, setelah membaca kalimat tersebut mereka berekspresi aneh. Khususnya ketika mereka sampai pada kata istilah.

Waktu menunjukkan pukul 11.00 waktu itu, setelah bernyanyi lagu satu nusa satu bangsa karya om L. Manik kemudian dilanjutkan dengan cerita wawasan nusantara. Mereka kemudian aku bagikan buku PKN dan meminta mereka membaca halaman dua sampai tiga, dengan tujuan untuk memperluas lagi pemahaman mereka. Tetapi apa boleh buat, maksudku baik namun ternyata aku malah menciptakan kekeliruan di otak mereka. Awalnya mereka membaca dengan suara sangat pelan, namun beberapa saat kemudian kelas mulai ribut karena akumulasi suara yang setiap detik volumenya semakin meninggi di setiap anak.

Anehnya, mereka malah mengulang-ulang kalimat yang ada di awal paragraf saja dengan intonasi yang sagat tegas pada kata istilah. Setiap detik mereka semakin semangat (khususnya anak laki-laki) untuk mengulang-lang untuk membaca sambil cengengesan. Jadilah kelasku sangat ribut namun terdengar kompak membaca kalimat NEGARA INDONESIA DISEBUT JUGA DENGAN ISTILAH........ NUSANTARA. Tetapi aku melihat ada yang aneh dari ekspresi mereka yang tidak seragam, anak perempuan terlihat dengan ekspresi kesal, beberapa anak yang belum lancar membaca terlihat bertanya ke temannya (menggunakan bahasa daerah,) mengenai letak kata istilah dalam paragraf.

"Kelas Tiga B.......?????" sahutku untuk mengurai distorsi suara yang menurutku sudah melewati ambang batas normal, namun sayang hanya beberapa anak yang menjawab "Pasti tertib... !!!".

Dengan suara yang tegas akupun bertanya ke mereka,

"kenapa bosong (kalian) baribut membaca, coba di baca pelan saja seperti ini" , "Negara Indonesia disebut juga dengan istilah nusantara. Nusantara berasal dari kata "nusa" dan "antara"." ucapku dengan suara yang agak pelan.

Akhirnya beberapa anak mulai menurunkan volume suaranya, namun kondisi itu hanya bertahan 3 menit saja. Selanjutnya kelas kembali kacau dengan suara mereka yang bersahut-sahutan, mengulang-ulang kalimat NEGARA INDONESIA DISEBUT JUGA DENGAN ISTILAH. Belum lagi ada anak yang saling menegur temannya dengan menggunakan bahasa oenale (Bahasa daerah setempat), bahkan saling memukul. "ah.. Ada yang tidak beres sepertinya" ucapku dalam hati. Mereka kemudian aku minta untuk berhenti membaca dan mendengar ceritaku, namun lagi-lagi tidak efektif. Kemudian aku tanya beberapa anak, mengapa teman-temannya tertawa ketika membaca kalimat tersebut. Yang kutemukan malah mereka senyum-senyum malu sambil menutup mukanya, malah ada yang langsung tunduk ke bawah meja. Akupun mulai panik, apa yang terjadi dengan bocah-bocah ini tuhan???.

"Sudah, sekarang tutup buku dan siap-siap pulang...!!!" ucapku dengan suara yang agak keras, ternyata kata pulang berhasil mengalahkan kata istilah.

Merekapun mulai merapikan buku dan bersiap pulang, ya... Hari itu aku memulangkan siswaku lebih cepat 20 menit dari jadwal yang seharusnya. Memulangkan mereka sepertinya sangat penting untuk meredam kekacauan hari itu.
.........................

Sesampainya di rumah akupun menceritakan kejadian di sekolah kepada inam (mama) dan amam (bapak), mereka malah mentertawakanku.

"sudah bapak makan dulu, baru nanti be kasi tau" kata amam, namun lagi-lagi di akhiri dengan tawa.

Selesai makan, aku ambil buku cetak itu kemudian kuperlihatkan ke amam.

"bapak, kata istila itu omong kotor (bahasa jorok) kalo di sini, anak-anak pasti bacanya isitila bukan istilah, itu artinya ###^$@@@##** dalam bahasa Oenale" kata amam menjelaskan sambil tertawa. Aku hanya melongo dan bilang "oooo.... -___-", anak-anak memang masih polos dan punya imajinasi yang tak bisa di tebak.

Semoga saja pelajaran PKN hari ini berkesan bagi murid-muridku, karena menurut teori (sudah lupa dari mana) sebuah pengetahuan akan tersimpan rapi dalam memori jangka panjang jika iya di terima dengan perasaan yang senang, seru dan aneh.

Mudah-mudahan yang tersimpan di otak mereka bukan, NEGARA INDONESIA DISEBUT JUGA DENGAN ###^$@@@##**..... '--___--'


*Bahasa Indonesia, bahasa yang membuat Republik ini tetap bersatu. Mencoba mengajarkannya kepada anak-anak di ujung selatan negeri adalah salah satu tantangan. Selain kata istilah, disini aku juga menemukan banyak misinterpretasi dari arti kata yang sebenarnya. Semoga saja menjelang usianya yang ke 84 tahun sebagai bahasa persatuan, bahasa ini tetap terjaga sebagai salah satu simpul untuk memperkokoh kesatuan republik. Walaupun seiring waktu mengalami berbagai perubahan di tiap generasi hingga sekarang muncul serangan bahasa 4L4y sebagai varian baru bahasa Indonesia di era social media ini.

Baca Selengkapnya......

Sabtu, Oktober 06, 2012

Ibu Fatimah dan Ibu Nasralia

Dengan sedikit gugup seorang bocah kecil ditemani ibunya masuk ke halaman sekolah dasar, dengan cengkraman yang kuat ia memegang tangan ibunya dan tak berani melepaskannya. Itu ia lakukan karena takut melihat aktifitas anak-anak seragam putih merah yang sangat ramai dan tak satupun yang ia kenal. Dengan langkah yang berat dan lambat, serta sesekali meminta pada ibunya untuk segera pulang karena khawatir berada di lingkungan tersebut. Namun dengan hanya sekali senyum yang menyejukkan dari wajah ibunya ia langsung lemas dan menurut. Sesampainya di depan kelas I, ia sudah melihat banyak anak-anak yang lain dengan polah yang aneh-aneh.

Ada yang menangis guling-guling di tanah, ada yang tidak mau turun dari gendongan ibunya, hal inilah yang membuatnya semakin khawatir dan ingin segera pulang. Namun sesekali ada beberapa anak yang lewat berlari dengan riangnya seolah-olah tanpa beban dan merasa sangat nyaman berada di sekolah tersebut.
"Assalamu alaikum Ibu, ini anaknya?" suara seorang ibu yang agak tua dengan seragam coklat muda menyadarkan ia dari pengamatan terhadap lingkungan barunya.
"Iya ibu, ini anak saya dia baru mulai sekolah di sini" Jawab Ibunya.
"Ooo..., ayo nak masuk kelas ketemu sama teman-temannya" dengan wajah yang sangat ramah. Dengan langkah yang agak berat, Ia mencoba memasuki ruangan kelas I.

Di dalam sana ia melihat ada sekitar 40-an anak, ada yang sudah mulai ngobrol dengan teman sebangkunya, ada yang diam saja, bahkan ada juga yang masih duduk sama orang tuanya. Tanpa arahan dari siapapun ia kemudian berjalan ke barisan tengah deretan bangku, dan memilih duduk di samping seorang anak yang belakangan ia ketahui namanya Harpian...
1994, foto setelah tamat di Taman Kanak-Kanak Bhayangkari

 .....

Itulah sedikit cerita yang masih sempat aku ingat ketika hari pertamaku di SD Negeri 2 Terang-terang 18 tahun yang lalu (Juni 1994). Waktu itu di kelas I aku di ajar Ibu Siti Fatimah usianya waktu itu kira-kira 50 - 55 tahun, setiap hari, Ibu Guruku selalu mengajar dengan semangat.

Yang paling tidak bisa aku lupa adalah suaranya yang khas dan sangat lantang jika sedang berada di depan sambil menunjuk huruf atau angka. Sesekali ia juga membetulkan posisi kacamatanya dengan lensa bulat yang agak besar. Ketika penerimaan raport caturwulan ketiga (waktu itu masih sistem cawu dan seingatku belum ada istilah tematis untuk pembelajaran). Nilaiku lumayan bagus apalagi matematika, aku nyaris dapat angka sempurna, namun kekuranganku adalah belum bisa baca. Ibu Fatimah kemudian berbicara ke orang tuaku, kalau aku sengaja dinaikkan ke kelas II dengan catatan sebelum penerimaan rapor cawu I di kelas II aku sudah harus bisa baca. Jika tidak aku bisa diturunkan kembali ke kelas I, jadilah orang tuaku sedikit keras di rumah untuk menepati janjinya kepada Ibu Fatimah agar aku bisa secepatnya membaca.

Dua bulan di kelas dua akhirnya aku sudah bisa baca (terima kasih Ibu Fatimah atas kebijaksanaannya). Di kelas II kami di bagi menjadi 2 kelas, aku di kelas IIb dengan Ibu Yuliana sebagai wali kelas kami. Yang masih terekam di memoriku, aku sekelas dengan beberapa teman-teman yang dari jawa (mereka rata-rata 1-3 tahun di SD 2 Terang-terang, setelah itu pindah karena orang tua mereka pindah tugas) dan teman-temanku juga kebanyakan keturunan Tionghoa. Selain itu di kelas dua juga aku pernah minta ijin untuk pindah sekolah ke Bandung, karena Bapak-ku akan dapat tugas belajar di sana dan setahun kemudian berangkat ke Jerman. Waktu itu aku yang paling semangat untuk pindah, mungkin karena sering mendengar cerita teman-temanku yang dari jawa (mereka hidup nomaden, tergantung surat tugas yang di pegang orang tua mereka) sudah tinggal di berbagai tempat di Republik ini.

Namun sayang karena berbagai pertimbangan, orang tuaku tidak jadi menerima tawaran beasiswa itu. Akhirnya aku tetap bersekolah di sana dan melihat beberapa kali acara perpisahan teman-temanku yang akan pindah ke daerah lain. Setahun di kelas II aku akhirnya naik ke kelas III. Di kelas III yang jadi wali kelasku adalah Ibu Nasralia, seorang guru, motivator, berjilbab dan suara yang sangat nyaring. Motivasi beliau agar aku belajar dengan tekun untuk mengikuti kompetisi olimpiade matematika yang dilaksanakan University of New South Wales. Perjalanan tiga tahun awal di Sekolah Dasar sepertinya terekam dengan baik, metode membaca yang dijarkan Ibu Fatimah di kelas satu kadang aku pakai di sekolah. Ataupun sapaan hangat di pagi hari ketika di sekolah biasa juga aku terapkan.

Karena sudah minta ijin untuk pindah waktu kelas II, namun tidak jadi. Akhirnya sampai sekarang aku sangat senang rasanya jika berada di Bandung dan semangat untuk kuliah sampai ke jerman. Motivasi Ibu Nasralia di kelas III, menjadi penyemangat untuk terus berkarya dan berprestasi. Dan saat ini saya berada di posisi yang sama dengan Ibu Nasralia 18 tahun yang lalu, bedanya saya mengajar anak kelas III di pulau paling selatan negeri ini sebagai pengajar muda. Mengajar anak-anak dengan kompleksitas tantangan yang tinggi memang butuh kesabaran dan kerja keras. Karena tugas guru memang menyemai pengetahuan dan motivasi untuk sang murid agar ia berani bermimpi bahkan melampauinya.

*Terima kasih untuk guru-guruku dan untuk teman-teman di SD Negeri 2 Terang-terang (1994-2000),

Baca Selengkapnya......

Selasa, Agustus 28, 2012

(Cerita) Adolf Hitler (Sampai) di Bumi Ti’i Langga

20 juni 2012, aku menghadiri acara pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional di Sekolahku (SD Inpres Oenitas). Ditemani Citra (PM2) aku masih agak canggung dengan suasana di sekolah, apatah lagi saat itu orang tua siswa sedang berkumpul. Setelah menunggu sekitar tiga jam setengah, akhirnya acarapun berlangsung. Satu persatu pemangku kepentingan yang hadir di beri kesempatan untuk memberikan sambutan di mulai dari Kepala Sekolah, Ketua Komite, dan terakhir perwakilan dari Kepala Cabang Dinas PPO (Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga). Ketiga sambutan tersebut semuanya menyempatkan untuk memperkenalkan saya di depan orang tua siswa.

Namun, sambutan dari Bapak Jusuf Boboy (ketua komite) waktu itu sangat luar biasa. Beliau menyampaikan cerita tentang Adolf Hitler yang di cap sebagai penjahat namun tetap menjadi pahlawan bagi orang-orang di kampung halamannya, beliau menyampaikan ini karena ada sebuah daerah di penempatan saya yang sudah di cap jelek oleh warga di desa lain. Beliau benar-benar membakar ruangan kelas yang kecil tersebut dengan semangat yang luar biasa saat menyampaikan sambutannya, dengan nada yang tegas beliau mengatakan “jika anak Leonard Haning (Bupati Rote Ndao) sarjana, itu hal yang biasa... !!!! tapi kalo dong (semua) anak samua (semua) sarjana itu luar biasa.. !!!”

Sungguh pernyataan yang luar biasa dari seorang bapak yang tamatan SMA dan berusia sekitar 60 tahun, kalimat tersebut sontak membuat ekspresi optimis dari orang tua siswa semakin terpancarkan. Tidak hanya sampai di situ, beliau juga “menyumpah” para siswa untuk tetap melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, dan dilanjutkan dengan “janji” orang tua untuk terus berusaha menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi. Kemudian beliau bercerita tentang seorang anak yang di mana masa mudanya iya habiskan dengan kenakalan baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar, kenakalan tersebut bahkan sampai ke tingkat kriminal. Namun, iya selalu mendapatkan nasehat dan bimbingan dari bapak. Seiring waktu iya telah menamatkan SMA pada tahun 2002, setelah “menganggur” sampai 2004 pemuda tersebut kemudian ke Kupang. Di sana iya kemudian kuliah pada jurusan pendidikan (aku lupa jurusannya), tahun 2006 iya sempat mengambil cuti karena sang ayah meninggal dunia. Selama dua tahun dia lagi-lagi menjadi pengangguran dan sempat putus asa untuk melanjutkan kuliahnya yang telah terlantar.
Bapak usu (begitu iya menyebutnya) selalu memberi dorongan dan motivasi kepadanya, selama dua tahun setiap beliau bertemu dengan bapak pasti selalu diingatkan untuk tetap berusaha kuliah. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali kuliah dengan modal pas-pasan, kuliah sambil bekerja sampingan (kadang jadi tukang parkir, ataupun berbisnis kecil-kecilan di kampus) iya jalani untuk menaklukkan tantangan ekonomi. Medio 2010 akhirnya iya menyelesaikan kuliahnya, tak lama setelah wisuda iya di terima sebagai guru di sebuah SMA di pinggiran Kota Kupang (Kec. Amfoang) hingga saat ini iya masih mendedikasikan diri di sana.

Aku kembali teringat, karena sehari sebelumnya aku sempat bertemu dengan beliau di upacara kematian tetangganya, beliau sangat semangat menceritakan pengalaman hidupnya seperti yang tertulis di atas. Hingga iya melontarkan kalimat “dulu memang saya nakal, bahkan berurusan dengan polisi saya sering. Namun sekarang beta sudah mau berubah, beta baru tau kalau pendidikan itu ternyata penting pak. Makanya suatu saat beta mau kembali ke sini untuk mengajar, beta mau anak-anak dong samua di sini sekolah terus biar oenale (nama suku yang mendiami oenitas) bisa maju”. Sambutan bapak Jusuf Boboy kemudian iya tutup dengan kalimat “ingat dong samua bisa sekolah setinggi-tingginya, tapi jangan sampai dong lupa sekolah dan kampung ini yang sudah beri lu ilmu dasar”.

Baca Selengkapnya......

Sabtu, Agustus 25, 2012

30 Hari, Akhirnya Aku Jatuh Cinta

"Bapak biasa saja dalam mengajar, bapak sepertinya belum akrab dengan anak-anak", (Haura, 2012)
"Mengajar dengan baik kasihan anak orang", (Asesor PPM, 2012)

Itulah dua kalimat yang selalu memotivasiku untuk memberikan yang terbaik saat mengajar di lokasi penugasan dari Yayasan Idonesia Mengajar. Kalimat tersebut kudapatkan ketika sedang melakukan Praktek Pengalaman Mengajar (PPM) di salah satu SD di Purwakarta sewaktu masih pelatihan Intensif Indonesia Mengajar beberapa bulan yang lalu. Kalimat pertama aku dapatkan dari seorang murid kelas dua, sedangkan yang satunya dari asesor kami saat itu.

Kini sudah sebulan lebih aku berinteraksi dengan wajah-wajah polos Desa Oenitas, setiap hari kulihat mereka dengan wajah ceria penuh harap untuk sesuatu yang baru. Enam belas mutiara yang masih muda, memiliki karakter yang berbeda, lirikan mata yang khas, senyum malu-malu yang terkadang mereka perlihatkan kepadaku, ataupun sapaan "Selamat pagi pak.. !!!" yang aku dapatkan jika bertemu mereka dijalan ketika ke sekolah ataupun pulang sekolah. Kebiasaan-kebiasaan tersebut hampir berulang setiap harinya, dan terkadang dibumbui tingkah mereka yang sangat ekspresif, hiperaktif, dan punya imajinasi yang sangat luas tentang sebuah pelajaran.

Mereka masih sulit berdamai dengan huruf p, d dan b yang sepertinya berputar-putar di kepala mereka hingga belum mampu membedakannya. Seharian aku biasanya tersenyum puas dengan apa yang mereka capai hari itu, kadangkala aku juga tak sadar mengeluarkan bulir-bulir bening di sudut mata karena melihat mereka kesulitan menyelami samudera ilmu yang begitu luas. Setelah 30 Hari, Akhirnya aku jatuh cinta. Mungkin terdengar seperti sebuah judul film.

Akhirnya aku yakin, jika aku benar-benar jatuh cinta pada wajah-wajah polos yang selalu memberiku energi ekstra ketika sedang lelah atau sedang suntuk. Ya... Energi yang mereka berikan melebihi minuman berenergi merek apapun... !!!!. Kini mereka selalu menginspirasiku untuk membuat media pembelajaran yang unik-unik, membuat administrasi wali kelas yang sangat banyak, ataupun belajar menjadi guru yang baik. Saat ini aku sudah mulai membantu mereka membangun mimpi-mimpi dan memberi semangat untuk meraih ataupun melampauinya. Menjadi guru ternyata sangat nikmat, ada kepuasan tersendiri jika kita mengajar dengan hati. Melihat mereka perlahan-lahan membaca dengan hati dan menulis dengan jiwa, Adalah sesuatu yang tak terhingga untuk di nilai dengan materi.

Baca Selengkapnya......

Jumat, Agustus 24, 2012

Hari Pertama di Kelas (Demokrasi Mutiara Muda)

Hari ini senin 23 Juli 2012, setelah libur awal ramdhan selama empat hari akhirnya aku memulai juga aktivitas pertamaku sebagai kelas III b di SD Inpres Oenitas, Kecamatan Rote barat. Beberapa hari sebelumnya, aku memang sudah ke sekolah namun waktu itu aku lebih banyak berinteraksi dengan kawan-kawan guru. Pernah dalam satu hari aku cuma mengobrol di kantor dengan kawan guru tentang aktifitas kurikuler dan ekstrakurikuler yang biasa dilaksanakan di sekolah. Ataupun sekedar melihat-lihat aktifitas anak-anak di sekolah, saat Ibu Citra (PM2) masih ada aku biasanya memperhatikan ketika ia sedang mengajar di dalam kelas. Aku yang tidak terbiasa dan kurang mampu berinteraksi dengan anak-anak, memang lebih banyak mengamati dan menerka-nerka apa yang mereka (siswa SD Inpres Oenitas) senangi.

Hari ini, aku tiba di sekolah pukul 07.30. Pikirku aku terlambat, ternyata pintu ruangan di sekolah belum juga terbuka karena pak kepala sekolah telat datang. Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya beliau datang dengan wajah yang ceria dengan potongan rambut baru. Ternyata pak Ay (begitu iya biasanya di sapa) hari ini berulang tahun, jadilah pagi ini ada perayaan kecil-kecilan di sekolah. Namun karena aku puasa, jadinya cuma mengucapkan selamat ulang tahun ke beliau kemudian aku bergeser ke ruangan kelas III b untuk memulai aktifitas tahun ajaran baru 2012/2013.

Sambil membawa kunci kelas, siswaku mulai antri di depan pintu dan mereka kelihatan tak sabar untuk memasuki ruang kelas baru mereka. Setelah terbuka merekapun mulai berebutan tempat duduk, ada yang duduk bertiga ada yang sendiri, jadilah ruangan seperti pasar yang sedang ramai transakasi. Aku hanya senyum dan menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam dalam hati, "ok, setahun ke depan aku akan bersama kalian, semoga kalian bisa jadi anak yang terbaik dan menjadi orang-orang sukses dalam hidup di masa yang akan datang".

Setelah menertibkan tempat duduk mereka, aku mulai mengeluarkan poster-poster bergambar pahlawan kemerdekaan negeri ini. Kemudian kumintai pendapat mereka, "poster-poster ini di tempel di mana anak-anak?" kembali suara mereka bersahut-sahutan ada yang bilang di belakang pak... !!!, di depan... !!!! Di sini saja pak..... !!! (sambil menunjuk dinding yang ada di sampingnya). "Ok kalau begitu kalian diam dulu semua, bapak bingung mau di tempel di mana jadinya" ucapku dengan nada yang agak tegas. Satu persatu dari mereka kemudian kumintai pendapat tentang alasan mereka, namun ternyata jawaban agar gambar tersebut bisa sering di lihat menjadi jawaban mayoritas. "kalau begitu kita bagi dua sebagian di tempel di depan dan sebagian lagi di belakang?, bagaimana?" tanyaku. "Iyyyaaaaaa paaakkkk.... !!!!" jawab mereka dengan kompak.

Akhirnya, mutiara-mutiara muda yang berjumlah 16 mulai aktif dan menempelkan gambar pahlawan dengan sebebas-bebasnya di kedua dinding ruangan yang telah ditentukan. Melihat mereka sibuk, aku mulai berpikir "apa lagi ya, yang harus aku lakukan?", ya hari ini aku ke sekolah tanpa persiapan untuk mengajar. Setelah memaksa saraf-saraf otak berpikir akhirnya ku temukan kegiatan selanjutnya, "bagaimana? Sudah beres ko sonde?" tanyaku dengan logat kupang yang kupikir masih aneh. Ternyata ada beberapa anak yang masih belum selesai menempelkan gambar, setelah ku beri tambahan waktu 10 menit kegiatan mereka selesai juga. "mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjuang untuk membebaskan Indonesia tercinta dari penjajahan Belanda dan Jepang, suatu saat kalian juga akan jadi pahlawan bagi negeri ini jika kalian rajin belajar" ucapku untuk memotivasi mereka (walaupun ku tahu mungkin sebagian besar dari mereka belum paham apa yang ku ucapkan tadi).

Kegiatan kemudian aku lanjutkan dengan pemiihan koordinator kelas, "baik sekarang bapak tanya, siapa yang mau jadi koordinator kelas IIIb?". Dengan waktu yang hampir bersamaan ada 6 anak yang mengangkat tangan, "wow.. Kelas ini ternyata memiliki banyak calon pemimpi(n)" ucapku dengan antusias. "baik kalau begitu Feri, Noldi, Adrianus, Maros, Refin, dan Beni silahkan maju ke depan", satu persatu kemudian mereka ku minta untuk meperkenalkan diri dan menjawab pertanyaan apa tugas dari seorang koordinator kelas. Jawaban mereka, perintah menyapu, membersihkan kelas, menyapu, mengatur teman, menolong teman,dan banyak lagi kata-kata ajaib yang mereka lontarkan.

Setelah sesi perkenalan diri dan mungkin bisa di bilang penyampaian visi mereka, maka aku mencoba membuka sesi musyawarah untuk mufakat memilih satu dari enam orang tersebut. Tetapi ternyata, di kelas ini belum mampu mufakat. "ok, kalau begitu kita memilih langsung koordinator kelas, jika bapak menyebutkan nama salah satu teman kalian silahkan angkat tangan jika kalian menginginkan dia menjadi koordinator, ingat satu orang hanya boleh mengangkat tangan sekali" ucapku sambil mengarahkan prosesi demokrasi di kelas ini. Setelah satu persatu dari enam calon ku sebutkan akhirnya Maros yang satu-satunya calon perempuan terpilih dengan jumlah suara 6, kemudian di susul feri dengan jumlah suara 4.

Akhirnya pesta demokrasi di kelas ini selesai juga, namun bedanya dengan yang terjadi di luar sana, anak-anak di sini pastinya belum memiliki pemahaman tentang kepentingan politik, golongan, ataupun kelompok masing-masing. Mereka siap menjadi pemimpin karena benar-benar ingin mengemban amanah, melakukan yang terbaik untuk kepentingan bersama. Setelah pemilihan, aku persilahkan mereka untuk istirahat selama 30 menit. Tiba-tiba, 15 menit kemudian Feri dan Christo masuk ke kelas dengan nafas yang terengah-engah. "Bapak, Noldi pukul Maros.... !!! Dong (mereka) ada di belakang perpustakaan" ucap christo dengan suara yang terbata-bata. "suruh dong ke sini" perintahku ke mereka, tak lama kemudian merekapun berdua sudah berada di kelas diikuti dengan teman-temannya yang lain. Pintu kelas kemudian ku tutup dan anak-anak yang lain kupersilahkan duduk kecuali mereka berdua. "Bosong (kalian) berdua buat hal (masalah) apa?" tanyaku, tiba-tiba anak yang lain nyeletuk "Noldi pukul Maros pak, karena kalah ketua kelas" (Noldi dikalahkan waktu pemilihan ketua kelas, red.).

Setelah ku investigasi, Noldi memang memukul maros karena iya kalah saat pemilihan tadi. Mereka berdua dan teman-temannya ku nasehati tentang pentingnya saling menghargai dan bersikap ksatria dalam menerima kekalahan. Setelah salaman, merekapun kembali bermain menikmati terik matahari halaman sekolah yang kering berdebu.

Sambil menatap mereka, akupun bertanya dalam hati, apakah anak-anak ini sudah sering melihat pesta demokrasi yang hampir terjadi setiap hari di negeri ini?. Dimana sebagian besar berakhir dengan kekacauan dan menyibukkan lembaga-lembaga hukum. Mungkinkah mereka menirunya?, dengan menggunakan cara-cara kasar jika kalah dalam sebuah pemilihan? Ataukah memang watak bangsa ini yang baru muncul setelah di suguhi sebuah era yang di sebut reformasi ?. Ataukah kalian masih anak-anak yang memiliki kemerdekaan untuk berbuat apa saja?.

Tapi dari mana, mereka belajar untuk berbuat seperti itu? Mereka memang masih muda (kecil), mungkin saja salah satu dari mereka akan ada yang memilih karir di jalur politik kelak, semoga saja sejak kecil dipertontonkan demokrasi yang sehat di negeri ini. Satu tahun aku akan berusaha untuk memoles mutiara-mutiara mudaku, semoga saja bapak gurumu ini tidak membuat bias dalam memahami sesuatu, hingga kelak menjadi mutiara yang bersinar dari pagar selatan Bumi Pertiwi.

Baca Selengkapnya......