Pasca peta koalisi pemilu 2014 terus mengerucut, terkadang saya mendapatkan ‘pesan kecut’. Baik secara langsung maupun via socmed. Mulai dari peluang, matematika koalisi politik, dan pasangan ideal jika maju sebagai capres. Mungkin pertanyaan seperti ini juga didapatkan oleh kawan-kawan relawan yang mengampanyekan Anies Baswedan dan Gerakan TurunTangan dalam 9 bulan terakhir.
Jika ditarik kebelakang, medio september 2013 pasca deklarasi konvensi Partai Demokrat, semua survey menempatkannya di bawah angka 0,5% untuk popularitas dan elektabilitas. Ditambah cerita-cerita pesimis tentang konvensi Partai Demokrat.
Selama perjalanan Gerakan TurunTangan sebagai platform sosial-politik, dalam hal menggerakkan dan menyampaikan gagasannya, relawan Anies Baswedan jauh lebih efektif bergerak. Dibandingkan dengan tim-tim bakal capres lain yang sudah jor-joran dalam berkampanye plus posisi mereka sebagai pejabat publik.
Sejak september 2013 hingga mei 2014, popularitasnya terus naik seiring aktifitas kawan-kawan di beberapa wilayah. Sedangkan, calon lain ada yang stagnan dan bahkan ada yang menurun tingkat elektabilitasnya.
Gerakan yang membesar karena gagasan
Seorang seleb tweet pernah ‘nge-tweet’, 25.000 orang tidak ada apa-apanya dibandingkan 183juta DPT.. !!!. Untuk di bilik suara memang tidak ada apa-apanya dan saya sangat sepakat. Jumlah itupun belum mampu memenangkan seorang Bupati/Walikota dalam sebuah perhelatan pilkada.
Tetapi relawan TurunTangan, barisan 26.000+ orang yang tersebar di seluruh penjuru telah menyampaikan pesan. Dan memperlihatkan gaya permainan baru untuk mengubah wajah politik Republik ini. Menurut saya, Gerakan TurunTangan tak sekedar jumlah angka-angka. Mereka yang bergabung ingin menyampaikan pesan “Masuklah ke politik karena gagasan dan misi, bukan karena rupiah yang melimpah dan popularitas semata”.
Pemilu 2014 ini katanya menjadi pemilu yang paling ‘brutal’ dalam hal money politic dan kampanye yang jor-joran. Namun pejuang-pejuang TurunTangan memilih tak menjadi bagian dari cara-cara klasik tersebut, memandang bahwa hal tersebut adalah bagian dari masa lalu perjalanan politik negeri ini. Mengubah sesuatu yang ‘tak mungkin’ memang tak mudah, tetapi memberi contoh sangatlah mudah.
Berawal dari satu titik di daerah kemang di Jakarta, hingga hari ini secara organik di beberapa wilayah. Orang-orang berkumpul dengan sadar, memikirkan dan berbagi ide untuk kampanye yang efektif di masing-masing wilayahnya. Tak ada uang transport, makan bayar sendiri, merchandise beli atau buat sendiri. Memang kedengaran aneh bagi orang-orang yang memandang aktifitas kampanye adalah ceruk untuk mengeruk rupiah.
Saya percaya kita akan mengalami lompatan kemajuan tatanan demokrasi yang lebih cepat. jika semua orang yang terjun ke politik memandang gagasan dan integritas sebagai bahan bakar dalam pencapaian misi politik. Permasalahannya hari ini, adalah tak banyak yang mau mencoba meninggalkan cara-cara lama. Mereka takut kalah karena rupiah, takut tersingkir karena ambisi tak tercapai, takut memberi contoh untuk mengubah. Dan (-maaf), mereka adalah penakut yang terpaksa masuk ke arena politik.
Politisi dengan gagasan dan pemikiran yang otentik sangat dibutuhkan untuk kemajuan sistem demokrasi, karena dengan begitu kita akan merasakan dampaknya. Kita akan tercerdaskan secara politik, dan mempercepat pergantian orang-orang tak berkualitas di arena politik. Wilayah yang mengurusi hajat hidup orang banyak.
Pemimpin yang berani mengubah permainan
Kini di penghujung konvensi, angka-angka survey untuk Anies Baswedan masih kecil. Katanya ada di bawah 5% dan masih kalah dengan 3 kandidat lain, dimana mereka adalah pejabat publik yang saban hari wajahnya bisa mucul di TV. Sedangkan Anies Baswedan? Jangankan iklan di TV, baliho saja tak ada. Tetapi jangan lupa, masih ada 7 peserta lain dibawahnya yang lagi-lagi masih/mantan pejabat publik.
Angka-angka survey menjadi momok yang menakutkan bagi politisi-politisi hari ini, padahal yang disampaikan terkadang hanya tingkat popularitas semata. Jangan heran jika sebagian besar politisi kita tidak berani mengambil keputusan tak-populer untuk kepentingan negara. Bisa jadi mereka takut angka-angka survey-nya nanti mengecil dan kehilangan popularitasnya.
Anies dan Gerakan Turuntangan berani tak populer karena ‘hanya’ jualan gagasan baru dan kampanye di internet. Mengajak orang-orang yang bergabung secara sadar dan percaya. Dan perlu kita ketahui di Internet-lah pertarungan trackrecord dan gagasan lebih terbuka, jika dibandingkan dengan TV dan media cetak. Dimana sebagian besar berpihak kepada tuannya dan pemilik rupiah yang sanggup membayar sangu.
Kita hanya bisa mengubah permainan dengan memberi contoh.
Bukan dengan diam dan mendiamkan, apalagi mengikuti cara-cara lama.
Anies Baswedan mungkin kecil jika diukur dengan angka-angka survey. Tetapi ia dan 26.000+ Relawan turuntangan telah memberi contoh cara membuat wajah politik republik ini lebih terhormat.
Tak banyak calon pemimpin yang berani memilih cara-cara terhormat untuk memenangkan pertarungan di arena politik.
Kamis, Mei 15, 2014
MENGUBAH WAJAH POLITIK REPUBLIK INI
Langganan:
Postingan (Atom)